Beranda | Artikel
Pembagian Tauhid Menjadi Tiga, Ide Siapa? (Bag. 1)
Selasa, 20 November 2018

Sebagaimana telah kami jelaskan dalam tulisan yang telah diterbitkan sebelumnya, bahwa menjadi kewajiban manusia untuk beriman dengan tiga jenis tauhid, yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah (tauhid ibadah) dan tauhid asma’ wa shifat [1, 2]. Pengertian masing-masing tauhid tersebut pun telah kami jelaskan dalam tulisan-tulisan tersebut.

Pembagian tauhid menjadi tiga, tidak ada dalilnya?

Sebagian orang menyangka bahwa pembagian tauhid menjadi tiga ini tidak memiliki dalil dari Al-Qur’an dan/atau As-Sunnah, sehingga mereka pun mengingkarinya. Mereka menyangka bahwa pembagian tauhid menjadi tiga itu mengada-ada sehingga tidak perlu diikuti.

Anggapan dan persangkaan ini keliru dan tidak tepat. Pembagian tauhid menjadi tiga tidaklah semata-mata hanya berdasarkan pendapat atau logika manusia; atau hanya berdasarkan kesepakatan sekelompok orang (ulama) saja. Akan tetapi, kesimpulan bahwa terdapat tiga jenis tauhid itu disimpulkan dari telaah dan kajian terhadap dalil-dalil dari Al-Qur’an, atau dikenal dengan istilah “istiqra’”.

Baca Juga: Solusi Masalah Negeri Adalah Mengaji Tauhid? Masak Sih?

Yang paling mudah adalah ketika kita membaca surat Al-Fatihah. Dalam surat Al-Fatihah, terdapat isyarat tentang tiga jenis tauhid.

Dalam firman Allah Ta’ala,

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Fatihah [1]: 1)

terdapat isyarat tentang tauhid rububiyyah. Karena dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala tetapkan rububiyah-Nya atas seluruh makhluk.

Dalam firman Allah Ta’ala,

الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ؛ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ

“Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai di hari pembalasan.” (QS. Al-Fatihah [1]: 2-3)

terdapat isyarat tentang penetapan tauhid asma’ wa shifat. Karena dalam ayat tersebut, Allah Ta’ala menetapkan untuk diri-Nya dua sifat yang mulia, yaitu sifat ar-rahmah dan al-mulk; dan juga Allah Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya nama yang mulia, yaitu “Ar-Rahmaan”; “Ar-Rahiim”; dan “Al-Maalik”.

Sedangkan dalam firman Allah Ta’ala,

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS. Al-Fatihah [1]: 4)

terdapat isyarat tentang tauhid ibadah. Karena ayat tersebut menunjukkan kewajiban memurnikan ibadah dan isti’anah (meminta pertolongan) hanya kepada Allah Ta’ala. Dan hal ini tidak lain dan tidak bukan adalah makna dan kandungan dari tauhid ibadah.

Baca Juga: Bisakah Meraih Kejayaan Islam Dengan Tauhid?

Demikian pula dalam surat pendek yang kita hapal dan sering kita baca, yaitu surat An-Naas, juga terdapat tiga jenis tauhid.

Firman Allah Ta’ala,

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ

“Katakanlah, “Aku berlidung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.” (QS. An-Naas [114]: 1)

berisi penetapan adanya tauhid rububiyyah.

Firman Allah Ta’ala,

مَلِكِ النَّاسِ

“Raja manusia.” (QS. An-Naas [114]: 2)

berisi penetapan adanya tauhid asma’ wa shifat.

Sedangkan dalam firman Allah Ta’ala,

إِلَهِ النَّاسِ

“Sesembahan manusia.” (QS. An-Naas [114]: 3)

berisi penetapan adanya tauhid uluhiyyah. Hal ini karena makna “ilaah” adalah “al-ma’buud”, yaitu yang disembah (sesembahan).

Demikian pula tiga macam tauhid ini kita jumpai di surat Al-Baqarah ayat 163-164. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ …

“Dan Tuhanmu adalah Tuhan yang Maha Esa; tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Dia.“ (QS. Al-Baqarah [2]: 163)

Ayat ini berbicara tentang tauhid uluhiyyah. Makna ayat tersebut adalah “sesembahan kalian yang benar hanyalah satu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah Ta’ala saja.”

Kemudian ayat,

… الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah [2]: 163)

masuk dalam pembahasan tauhid asma’ wa shifat sebagaimana penjelasan dalam surat Al-Fatihah sebelumnya.

Sedangkan firman Allah Ta’ala,

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ مَاءٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِنْ كُلِّ دَابَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah Ta’ala turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 164)

Baca Juga: Tauhid Membuahkan Rasa Aman

berbicara tentang tauhid rububiyyah. Allah Ta’ala sebutkan tauhid rububiyyah dalam ayat ini sebagai dalil dan bukti untuk menetapkan tauhid uluhiyyah. Maksudnya, semua yang Allah Ta’ala sebutkan dalam ayat tersebut adalah tanda dan bukti bahwa Allah Ta’ala saja yang berhak disembah, bukan selain-Nya, karena selain Allah Ta’ala tidaklah memiliki sifat rububiyyah.

Demikianlah kalau kita merenungkan isi dan kandungan ayat-ayat dalam Al-Qur’an, maka tidak akan lepas dari tiga jenis tauhid di atas. Sehingga sebagai kesimpulan, pembagian tauhid menjadi tiga itu berdasarkan atas istiqra’ (penelitian dan telaah) dari dalil-dalil Al-Qur’an sehingga disimpulkan bahwa terdapat tiga jenis tauhid, yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid asma’ wa shifat. [3]

Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jaami rahimahullahu Ta’ala berkata,

Dalil pembagian tauhid (menjadi tiga) ini disebut dengan al-istiqra’. Maksud al-istiqra’ adalah kita menelusuri dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan kita jumpai pembicaraan tentang ketuhanan itu terbagi ke dalam tiga pembahasan ini:

Pertama, dalil-dalil yang menyeru hamba untuk mentauhidkan Allah Ta’ala (dalam ibadah, pent.) dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dari dalil-dalil yang mengandung makna ini, kemudian diambillah tauhid yang disebut dengan “tauhid ibadah”.

Kedua, dalil-dalil yang mengabarkan bahwa Allah Ta’ala yang menciptakan segala sesuatu, Dia-lah yang mengatur semua urusan, Dia-lah yang Maha memberi dan menahan (mencegah). Dari kandungan ini disebutlah “tauhid rububiyyah”.

Ketiga, dalil-dalil yang mensifati bahwa Allah Ta’ala itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui; atau Maha Mendengar dan Maha Melihat; atau Maha Menjaga dan Maha Bijaksana; dan penyebutan nama dan sifat Allah Ta’ala yang lainnya. Ini kemudian disebut dengan “tauhid asma’ wa shifat”.

Oleh karena itu, pembagian tauhid menjadi tiga itu tidaklah keluar dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini membantah perkataan orang-orang yang menentang bahwa pembagian tauhid menjadi tiga adalah pembagian yang baru, dan tidak ada asal usulnya.

Dalil berdasarkan al-istiqra’ itu diterima oleh para ulama. Mayoritas yang membahasnya sebagai bagian dari cara berdalil adalah para ulama ahli ushul. Demikianlah penjelasan tentang rahasia pembagian tauhid menjadi tiga macam. [4]

Baca Juga:

[Bersambung]

***

@Puri Gardenia I10, 6 Rabi’ul awwal 1440/ 14 November 2018

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.Or.Id

 

Catatan kaki:

[1] https://muslim.or.id/36799-mengapa-engkau-enggan-mengenal-tuhanmu-01.html

[2] https://muslim.or.id/36804-mengapa-engkau-enggan-mengenal-tuhanmu-bag-2.html

[3] Disarikan dari kitab Duruus minal Qur’anil Kariim, hal. 21-25 karya Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan hafidzahullahu Ta’ala, penerbit Daarul ‘Ashimah KSA, cetakan pertama tahun 1421.

[4] Al-Hukmu bighairi Maa Anzalallah, hal. 80-81 karya Syaikh ‘Abdussalam bin Barjas bin Naashir ‘Abdul Karim.

🔍 Wara Adalah, An Nahl 36, Poligami Menurut Hukum Islam, Membelikan Hewan Kurban Untuk Orang Tua, Ucapan Natal & Tahun Baru


Artikel asli: https://muslim.or.id/43836-pembagian-tauhid-menjadi-tiga-ide-siapa-bag-1.html